RSS
Write some words about you and your blog here

SEJARAH PENDIDIKAN ABK DI INDONESIA
Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara didunia, individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masayrakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan,disingkirkan,tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya. Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga. Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yamg sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasiagar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan. Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itumulai berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosialyang secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dariorang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu,pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) daripendidikan anak lainnya. Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education, yang melahirkan sistem pendidikan segregasi.
Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB) dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda. Dilihat dari sudut pandang, pedagogis,psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi,(yang lahir dari konsep special education) mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya.Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhandan perbedaan individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal.Padahal sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami (David Smith 1995).Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat darisudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bias dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Olehkarena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus(Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhan khusus bukan pengganti istilah anak luar biasa. Layanan pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan Khusus (SpecialNeeds Education).
PERKEMBANGAN ABK DI INDONESIA
Perkembangan pendidikan luar biasa di Indonesia pada hakikatnya tidak berbeda dengan perkembangan pendidikan luar biasa di dunia. Menurut M.Amin dan A.Dwijosumarto (1979:56) tempat khusus buat anak buta, lumpuh, miskin dan sebagainya didirikan untuk pertama kalinya oleh raja-raja Jawa setelah masuknya agama Islam. Pendidikan formal pertama kali untuk anak tunanetra didirikan di Bandung pada 26 April 1901. Selanjutnya pada tahun 1927, guru-guru Belanda mendirikan Perhimpunan ubtuk pendidikan anak tunagrahita di Bandung. Pada 12 Januari 1903 berdiri perkumpulan yang mengusahakan pendidikan luar biasa bagi anak tunarungu juga di Bandung. Semua lembaga tersebut didirikan oleh Belanda, kerena mereka lebih dulu menyadari dan menghargai hak anak luar biasa/berkelainan memperoleh pendidikan formal. Meskipun demikian, pada masa pendudukan Jepang, yaitu pada Perang Dunia II, usaha-uasaha untuk melaksanakan pendidikan luar biasa menjadi musnah.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mendirikan lembaga pendidikan luar biasa yang secara formal yang dimulai pada tahun 1950 dengan ditetapkannya Undang-undang No.4 tahun 1950. Kemudian pada tahun 1952 dibukalah sekolah yang mendidik calon guru-guru yang khusus dipersiapkan untuk mengajar anak-anak luar biasa yang dikenal dengan nama SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa).
Pada decade enampuluhan di IKIP Bandung dan Universitas di buka Jurusan Pendidikan Luar Biasa atau Jurusan Pendidikan Khusus. Sejak munculnya SGPLB dan jurusan PLB, maka mulai banyak bermunculan lembaga-lembaga pendidikan luar biasa  yang baru di seluruh Indonesia. Dalam usaha mewajibkan wajib belajar bagi seluruh anak sekolah di Indonesia, termasuk anak luar biasa, maka pemerintah telah menetapkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 002/0/1986 tanggal 4 Januari 1986 tentang Pendidikan Terpadu. Dengan keputusan tersebut maka semua anak Indonesia usia sekolah yang tergolong normal maupun luar biasa, memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah.
Sejak decade tahun Sembilan puluh mulai dirasakan adanya kecenderungan untuk memberikan pelayanan pendidikan bukan hanya kepada anak luar biasa yang tergolong penyandang ketunaan tetapi juga berkesulitan belajar dan yang tergolong berbakat. Dengan diselenggarakannya Lokakarya Pendidikan Terpadu Bagi Anak Berkelainan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta pada tanggal 21-30 Oktober1992, meskipun masih terbatas bagi anak tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita, era pendidikan yang mengintegrasikan anak-anak berkelainan dengan anak-anak normal pada hakikatnya telah dimulai.

PERUBAHAN PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP ABK
Pandangan masyarakat terhadap anak/orang luar biasa/berkelainan telah mengalami pergeseran dari masa ke masa. Pada mulanya masyarakat menganggap anak berkelainan adalah insane yang tidak mampu apa-apa dan tidak berguna sehingga keberadaan mereka tidak menguntungkan, bahkan kalau perlu dihilangkan dengan berbagai cara seperti diusingkan ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya, dibuang atau dibunuh.
Selanjutnya pandangan masyarakat mulai berubah yaitu mereka menganggap mereka para penyandang kelainan adalah makhluk yang perlu dikasihani, oleh karena itu harus dilindungi dari perlakuan pembuangan atau pembunuhan. Mereka mempunyai hak untuk hidup dan memperoleh pelayanan pendidikan sebagaomanan anggota masyarakat lainnya. Selanjutnya muncul pandangan baru bahwa penyandang kelainan itu dapat dilatih/dididik. Meskipun pelatihan dan pendidikannya memerlukan layanan yang sangat khusus.
Pada dekade terakhir ini pandangan masyarakat terhadap penyandang kelainan telah bergeser kea rah yang semakin positif dan sampai pada anggapan bahwa penyandang kelainan itu pada dsarnya tidak berbeda (sama) dengan yang tidak berkelainan (normal). Artinya mereka mempunyai hak yang sama dengan manusia yang normal dalam menikamti kehidupan, pelayanan pendidikan yang berkualitas, dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan.